Minggu, 13 Maret 2011

makalah bahasa dan pikiran


BAB I
PENDAHULUAN
A.                            Latar Belakang masalah
Manusia adalah berbeda dengan binatang  ataupun tumbuh-tumbuhan. Jika manusia itu bertindak, ia tahu bahwa ia bertindak dan apabila ia berpikir maka iapun tahu bahwa dirinya itu berpikir. Karna itulah maka manusia dikatakan sebagai makhluk yang berpikir atau homo-sapiens atau juga animal-rationale[1]. Manusia mempunyai kesadaran dan kesanggupan berpikir, sehingga berpikir dapat dianggap sebagai sifat manusia yang terpenting. Selanjutnya kalau berpikir itu dianggap sebagai sifat manusia yang terpenting, maka filsafat harus dianggap sebagai perbuatan yang paling radikal dalam menggunakan kesanggupan berpikir itu. Karena berfilsafat berarti berpikir secara radikal yaitu suatu usaha mencapai radix atau akar kenyataan yang sebenarnya[2].
Berpikir bukanlah suatu aktifitas yang bersahaja. Berpikir adalah suatu aktifitas yang banyak seluk beluknya, berlibat-libat, mencakup sebagian unsur dan langkah-langkah, misalnya aprehensi sederhana atau pembentukan konsep, menyusun keputusan-keputusan, meneliti/memperhatikan asumsi/implikasi pemikiran, menanggulangi disonansi kognitif, menyelenggarakan pemikiran, menarik kesimpulan, gerak intek secara deduktif, induktif dan argumen kumulatif atau secara langsung berpikir non konseptual dan sebagainya.
Semuanya itu sangat penting apabila diperhatikan, diselidiki dan dianalisis dengan tujuan supaya dapat diketahui mekanismenya dan dapat dikuasai. Untuk berpikir dengan baik, semuanya itu ditonjolkan untuk dipandang, diselidiki dan dirumuskan bentuk-bentuk dan hukum-hukumnya sehingga dapat dikuasai dan dipakai secara sadar dan kritis.
 Dalam kajian bahasa, istilah Ideolinguistik mungkin akan sangat asing bagi pembaca sekalian. Istiliah ini dalam pembahasannya menyangkut hubungan antara pikiran (idea) dan bahasa  (lingua).
Dalam kehidupan praktis sehari-hari, kita melakukan komunikasi. Kita menggunakan bahasa untuk berkomunikasi, dengan bahasa kita mampu mengkomunikasikan ide-ide kita. Apakah bahasa merupakan satu-satunya instrumen untuk berkomunikasi? Tidak terasa kita memang menganut paham tersebut, yang setuju bahwa “bahasa adalah alat yang digunakan oleh manusia untuk berkomunikasi”. Dan memang itu benar adanya.
Gadamer pernah mengatakan bahwa “Ada (sein) yang dapat dipahami adalah bahasa”. Hanya sejauh “terbahasakan” sesuatu dapat ditangkap. Ini berarti Gadamer berpendapat bahwa manusia hanya dapat memahami realitas sepanjang realitas itu terbahasakan[3].  Dengan kata lain, yang disebut dengan realitas adalah hal-hal yang dapat dibahasakan.
Sayangnya, sampai saat ini, sangat sulit kita temukan pemikiran-pemikiran yang secara khusus membahas korelasi antara bahasa dan pikiran. Tesis Gadamer di atas tentu saja terbatas pada bahasa dan realitas, sedangkan bahasa (yang merealisir realitas) itu merupakan realisasi ide-ide. Ide terletak dalam pikiran. Bahkan tidak ada garis pembeda yang tegas, yang ‘mengantarakan’ ide dan pikiran.
Kita bisa melihat jelas seseorang yang pikirannya kacau mengakibatkan bahasanya kacau juga. Kadang juga jika seseorang sedang memikirkan sesuatu yang berat, yang bersangkutan tidak berselera untuk bicara. Ada juga yang berpendapat bahwa bahasa merupakan cerminan dari pikiran, apa yang dibicarakan adalah apa yang dipikirkan. Bahasa terbentuk dari pikiran, atau bentuk bahasa (secara individual dan spontan) meniru atau mengikuti bentuk pikiran atau ide.
Akan tetapi jika kita mau lebih jeli melihat, sesungguhnya bahasa itu hanyalah “wujud” dari ide atau pikiran saja. Sehingga analisa bahasa dengan melepaskannya dari analisa ide adalah kesesatan. Artinya, tidak mungkin ada bahasa tanpa ada ide, begitu pula sebaliknya.
Bukankah pula seseorang yang gugup tidak mampu bicara benar, yang artinya ada juga hubungan antara emosi dengan bahasa. Inilah yang penting untuk dibahas. Hubungan bahasa dengan sosial (Sosiolinguistik), hubungan bahasa dengan emosi (Psikolinguistik). Namun hubungan bahasa dan ide (Ideolinguistik) tidak semudah mengatakan sebagaimana yang dikatakan di atas, bahwa yang nyata adalah yang terbahasakan, bahasa merupakan cermin ide.
Ide berasal dari kata Yunani Eidos yang berarti tangkapan[4]. Istilah ini sudah sangat populer di zaman Homeros, Empedokles, Demokritos, terutama di zaman Plato. Ide atau Eidos ini dapat berarti “yang terlihat”, “yang nampak” atau lebih komplitnya “yang terindrai”. Sehingga secara sederhana, ide dapat diartikan sebagai apa yang menjadi tangkapan indra manusia.
Apakah binatang juga dapat berpikir! ini adalah salah satu hal yang pasti adalah bahwa kita tidak pernah menjadi binatang, sehingga kita tidak mengetahui secara pasti apakah yang dialami oleh binatang tersebut. Bisa saja mengingat-ngingat saat seekor kucing di atas meja tiba-tiba melompat karena kita datang, Seekor burung yang terbang karena kita datang. Binatang-binatang tersebut mengetahui bahwa kedatangan kita bertujuan kepadanya. Berarti indranya menangkap kedatangan kita. Kucing-kucing itu juga dapat membedakan mana tuannya yang senantiasa menyayanginya dan mana yang bukan. Ini berarti selain bernaluri, dia juga memiliki kemampuan membedakan. Monyet-monyet di kebun binatang juga sering tertawa terbahak-bahak, ini berarti mereka punya selera humor. Namun bukan berarti kita bisa mengeneralisasikan bahwa semua binatang seperti itu.
semua binatang itu berbeda dengan manusia namun sama (secara substantif) antara satu dengan yanglainnyasetiap spesis hewan memiliki karakteristik dan fitur yang berbeda-beda, sesuai dengan kebutuhan dalam hidupnya. Termasuk manusia,seperti yang kita ketahui bahwasannya manusia tergolong spesis antara makhluk-makluk berdarah, berdaging dan bertulang.
Jika manusia memiliki ide, seperti yang telah kita sampaikan di atas, maka tidak menutupi kemungkinan bahwa spesis makhluk yang lain juga seperti itu, namun dengan cara dan ragam yang berbeda-beda, sesuai dengan kebutuhan dan cara hidupnya masing-masing.
Jika eidos berarti apa-apa yang terindrai, bagaimana dengan ide tentang Tuhan dan hal-hal metafisik lainnya. Ada kesalahan dalam menangkap kesan-kesan indrawi selama ini. Khususnya mengenai apa yang masih kita belum pahami. Manusia senantiasa menangkap kesan-kesan sebagaimana kebiasaannya. Pemahaman manusia mengenai hal-hal yang transenden terbentuk dari bacaan-bacaan kitab suci, yang tertulis oleh yang seakan-akan telah  melihat dan mendengar apa-apa yang telah dituliskannya itu secara manusiawi. Dalam artian kita salah jika “memanusiakan Tuhan”.
Kebiasaan kita memaksakan ide Tuhan hadir sebagaimana ide-ide yang lain hadir dalam akal budi kita merupakan suatu kekeliruan, oleh karenanya Martin Heiddeger menyarankan kita senantiasa berani untuk tidak menafsirkan fenomena. Artinya biarkan fenomena-fenomena muncul apa adanya dan kita menjadi pemula dalam menatap fenomena itu. Pada hakikatnya, Tuhan tidak dapat ditangkap oleh indra manusiawi. Tetapi hanya dapat ditatap dengan indra rabbani
Kita hanya berbicara mengenai ide dan bahasa. Jika Tuhan dan hal-hal transenden lainnya dapat “diidekan”, maka merekapun dapat dibahasakan. Buktinya kita tidak dapat membahasakan Tuhan, surga dan neraka dengan yakin dan bahkan sombong. Maknanya hanya satu, bahwa tidak ada ide mengenai Tuhan, surga, neraka dan sebagainya. Kita hanya dapat menyikapinya dengan iman, yang tentu saja tidak bertempat pada akal budi, namun hati sanubari.
            Kita menyebut pikiran kita dengan akal budi, apakah berbeda antara akal budi dan ide[5]. Akal budi atau intelek adalah aktor penangkapan kesan. Dengan kata lain, akal budi merupakan fasilitas untuk mengidekan sesuatu.
B.                             Rumusan Masalah
Agar tidak terjadi kesalah pahaman dalam membaca makalah ini maka makalah ini menggunakan rumusan masalah sebagai berikut :
1.      Apa hakikat bahasa?
2.      Apa hakikat pikiran?
3.      Bagaimana hubungan antara bahasa dan pikiran?
C.                            Tujuan
Setiap manusia pasi mempunyai tujuan karena salah satu kebutuhan manusia yang palinh fundamental adalah orentasi, sebelum dapat hal apapun maka harus mencari orentasi dulu, kearah mana harus bergerak mencapai tujuan.
Sedangkan tujuan yang ingin dicapai penulis dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
-          Mendiskripsikan tentang bahasa dan pikiran.
-          Sebagai wahana kreatif, imajinatif dalam menulis karya ilmiah.
-          Sebagai salah satu syarat dalam mata kuliah ilmu Logika.
D.                            Manfaat
Dengan makalah yang cukup sederhana ini semoga dapat menambah wawasan menulis terutama yang ada hubungannya dengan dibahas, memberi sumbangan ilmu kepada pembaca, dan dapat meningkatkan daya pikir secara kreatif dan sistematis.





















BAB II
PEMBAHASAN
A.        Hakikat Bahasa
Menurut E. Sapir (1921) dalam A. Chaedar Alwasilah (1990) bahwa bahasa adalah “A purely human and non-instinctive method of communicating ideas, emotions, and desires, by means of a system of voluntarily produced symbols[6].”
Dalam batasan tersebut ada lima butir terpenting yaitu bahwa bahasa itu:
a. Manusiawi
            Hanya manusialah yang memiliki sistem simbol untuk berkomunikasi. Betul bahwa hewan seperti binatang pun berkomunikasi, dan mempunyai sistem bunyi, tetapi sistem itu bukanlah kata-kata. Dengan demikian mereka tidak memiliki bahasa. Manusia telah berbahasa sejak dini sejarahnya, dan perkembangan bahasanya inilah yang membedakan manusia dari makhluk lain; hingga membuat dirinya mampu berpikir.
b. Dipelajari
            Manusia ketika lahir tidak langsung lalu mampu berbicara. anak yang tidak mempunyai kontak dengan orang lain yang berbahasa seperti dirinya sendiri akan mengembangkan bahasanya sendiri untuk memenuhi hasrat komunikasinya. Namun bahasa tidaklah ada artinya bila hanya untuk diri sendiri. Paling tidak haruslah ada dua orang, supaya ada proses komunikasi. Betul bahwa seseorang bisa berkomunikasi pada dirinya, namun untuk komunikasi seperti ini tidak perlu kata-kata.
c. Sistem.
            Bahasa memiliki seperangkat aturan yang dikenal para penuturnya. Perangkat inilah yang menentukan struktur apa yang diucapkannya. Struktur ini disebut grammar[7]. Bagaimanapun primitifnya suatu masyarakat penutur bahasa, bahasanya itu sendiri bekerja menurut seperangkat aturan yang teratur. Kenyataan bahwa bahasa sebagai sistem adalah persoalan pemakaian (usage); bukan ditentukan oleh panitia atau lembaga perumus. Aturan ini dibuat dan diubah oleh cara orang-orang yang menggunakannya. Aturan ini ada karena para penuturnya menggunakan bahasa dalam cara tertentu dan tidak dalam cara lain. Dan karena ada kesepakatan umum tentang aturan ini maka orang menggunakan bahasa dalam cara tertentu yang memiliki arti. Dikarenakan ada kesepakatan inilah maka kita bisa mempelajari dan mangajarkan bahasa apa saja.
d. Arbitrer.
            Bahwa bahasa mempergunakan bunyi-bunyi tertentu dan disusun dalam cara tertentu pula adalah secara kebetulan saja[8]. Orang-orang melambangkan satu kata saja untuk melambangkan satu benda, misalnya kata kuda ditujukan hanyalah untuk binatang berkaki empat tertentu karena orang lain berbuat demikian. Demikian pula kalimat berbeda dari satu bahasa ke bahasa lainnya. Dalam bahasa Latin kata kerja cenderung menempati posisi akhir, dalam bahasa Perancis kata sifat diletakkan setelah kata benda seperti halnya bahasa Indonesia. Ini adalah semua karena kebetulan saja.
e. Simbolik
            Bahasa terdiri atas rentetan simbol arbitrer yang memiliki arti. Kita bisa menggunakan simbol-simbol ini untuk berkomunikasi sesama manusia karena manusia sama-sama memiliki perasaan, gagasan, dan keinginan. Dengan demikian kita menerjemahkan orang lain atas acuan pada pengalaman diri sendiri. Kalau kita mengerti ujaran orang yang berkata, “Saya lapar”, ini karena kita pun biasa mengalami peristiwa lapar itu.
Sistem bahasa apapun memungkinkan kita membicarakan sesuatu walau tidak ada di lingkungan kita. Kita pun bisa membicarakan sesuatu peristiwa yang sudah terjadi atau yang akan terjadi. Ini dimungkinkan karena bahasa memiliki daya simbolik, untuk membicarakan konsep apapun juga. Ini pulalah yang memungkinkan manusia memiliki daya penalaran (reasoning).
Demikianlah lima butir hakikat bahasa manusia sebagai alat untuk berkomunikasi dan mencirikan dirinya serta membedakannya dari makhluk lain.

B.                 Hakikat berpikir
Bilamana pembicaraan di atas telah diikuti dengan saksama, maka tampak bahwa hakikat berpikir yang benar-benar berpikir sama sekali berlainan dari berpikir dalam bentuk turunannya.
Berpikir yang benar-benar berpikir tidak identik dengan berpikir dengan menghitung yang hakikatnya pemikirannya hanya berhenti pada aspek kuantitatif dari realitas, pada aspek utilistik instrumental dari realitas. Dalam terminologi sehari-hari dipakai istilah ratio yang berasal dari kata latin reor yang berarti ‘menghitung’. Kadar kebenaran yang sesungguhnya dari realitas tidak mungkin terjangkau melalui berpikir dengan menghtung.
Berpikir yang benar-benar berpikir bukanlah berpikir dengan memvisualisasikan, membayangkan. Dalam berpikir dengan memvisualisasikan terkandung asumsi bahwa segala hal dapat dibuat visual (yang jelas tidak mungkin), terkandung persepsi dasar bahwa the real is the physical. Hal yang lebih dalam dari realitas jasmani dengan sendirinya tidak terjangkau.
Dalam gaya berpikir dangan memvisualisasikan, realitas adalah yang dapat ditangkap oleh pancaindera[9]. Yang lainnya adalah tidak ada. Copy theory of reality (Camera theory of reality) pada hakikatnya adalah pernyataan bahwa manusia adalah pasif; ‘objektif’ adalah pengingkaran kesertaan mutlak manusia subjek dalam kegiatan tahu. Minatnya tidak pada realitas, tetapi pada pematokan realitas, pada manipulasi ide-ide, pada kejelasan, tetapi seedar kejelasan jasmani-inderani. Berpikir dengan membayangkan tidak mungkin bicara tentang hakikat realitas. Pendek kata, lebih banyak lagi kebenaran yang tidak mungkin diungkap melalui berpikir dengan membayangkan.
Berpikir yang benar-benar berpikir tidak identik dengan berpikir menjelaskan, karena de facto berpikir dengan menjelaskan sekadar gerak pikiran diantara batas-batas yang sudah ditetapkan.rasionalitas, logika validasi metode-metodenya sudah pasti. Seluruh usaha adalah sekedar menggiring pikiran ke jalur tersebut.
Berpikir dengan menghitung, berpikir dengan emvisualisasikan, dan berpikir dengan menjelaskan adalah bentuk-bentuk berpikir, tetapi sekedar tukilan dari berpikir yang benar-benar berpikir.
Dalam praktek terbatas tertentu, bentuk-bentuk tersebut tidak diragukan arti dan manfaatnya. Tetapi bilamana bentuk-bentuk tersebut disetarakan, tidak dilampui bahkan diidentikkan dengan berpikir yang benar-benar berpikir, maka distorsi kadar kebenaran yang lebih kaya dari realitas merupakan bencana yang tidak dapat dihindarkan. Berbagai realitas tidak dapat dan tidak mungkin dipikirkan karena kadar kebenaran banyak hal tidak akan tampak dan tampil dengan gaya-gaya berpikir secara menghitung, secara memvisualisasikan, secara menjelaskan.
Arti realitas tidak mungkin dapat dipikirkan dengan semestinya. Realitas itu sendiri tidak dipikirkan. Ketiga gaya pemikiran tersebut tidak memungkinkan untuk memikirkan pertanyaan tentang hakikat realitas, hakikat manusia.
Jelas bahwa berpikir yang benar-benar berpikir bukan bergerak diantara batas-batas yang sebelumnya sudah dipastikan, tidak bertujuan untuk meregam, menguasai, memaksakan kekuasaan (teori-teori, metode-metode, sistem-sistem dan sebagainya) pada realitas
Realitas bukan hasil pikiran, dan bahasa bukan alat. Bahasa dan pikiran adalah ruang tempat terjadinya peristiwa realitas. Berpikir adalah tanggapan, jawaban, bukan sikapobjektivistik dan sikap mengmbil jarak. Dan bahasa berkaitan erat dengan peristiwa penyampaian arti. Bahasa adalah jawaban manusia terhadap panggilan realitas kepadanya.
C.        Hubungan Bahasa dan Pikiran
Beberapa ahli mencoba memaparkan bentuk hubungan antara bahasa dan pikiran, atau lebih disempitkan lagi, bagaimana bahasa mempengaruhi pikiran manusia. Dari banyak tokoh yang memaparkan hubungan antara bahasa dan pikiran, penulis melihat bahwa paparan Edward Sapir dan Benyamin Whorf yang banyak dikutip oleh berbagai peneliti dalam meneliti hubungan bahasa danpikiran.
Sapir dan Worf mengatakan bahwa tidak ada dua bahasa yang memiliki kesamaan untuk dipertimbangkan sebagai realitas sosial yang sama. Sapir dan Worf menguraikan dua hipotesis mengenai keterkaitan antara bahasa dan pikiran.
1. Hipotesis pertama adalah lingusitic relativity hypothesis yang menyatakan bahwa perbedaan struktur bahasa secara umum paralel dengan perbedaan kognitif non bahasa (nonlinguistic cognitive). Perbedaan bahasa menyebabkan perbedaan pikiran orang yang menggunakan bahasa tersebut.
2. Hipotesis kedua adalah linguistics determinism yang menyatakan bahwa struktur bahasa mempengaruhi cara inidvidu mempersepsi dan menalar dunia perseptual. Dengan kata lain, struktur kognisi manusia ditentukan oleh kategori dan struktur yang sudah ada dalam bahasa.
Pengaruh bahasa terhadap pikiran dapat terjadi melalui habituasi dan beroperasinya aspek formal bahasa, misalnya gramar dan leksikon. Whorf mengatakan “grammatical and lexical resources of individual languages heavily constrain the conceptual representations available to their speakers”. Gramar dan leksikon dalam sebuah bahasa menjadi penentu representasi konseptual yang ada dalam pengguna bahasa tersebut. Selain habituasi dan aspek formal bahasa, salah satu aspek yang dominan dalam konsep Whorf dan Sapir adalah masalah bahasa mempengaruhi kategorisasi dalam persepsi manusia yang akan menjadi premis dalam berpikir, seperti apa yang dikatakan oleh Whorf berikut ini :
Kita membelah alam dengan garis yang dibuat oleh bahasa native kita. Kategori dan tipe yang kita isolasi dari dunia fenomena tidak dapat kita temui karena semua fenomena tersebut tertangkap oleh majah tiap observer. Secara kontras, dunia mempresentasikan sebuah kaleidoscopic flux yang penuh impresi yang dikategorikan oleh pikiran kita, dan ini adalah sistem bahasa yang ada di pikiran kita. Kita membelah alam, mengorganisasikannya ke dalam konsep, memilah unsur-unsur yang penting…(Whorf dalam Chandler, 2000)
      Bahasa bagi Whorf pemandu realitas sosial dan mengkondisikan pikiran individu tentang sebuah masalah dan proses sosial. Individu tidak hidup dalam dunia objektif, tidak hanya dalam dunia kegiatan sosial seperti yang biasa dipahaminya, tetapi sangat ditentukan oleh simbol-simbol bahasa tertentu yang menjadi medium komunikasi sosial. Tidak ada dua bahasa yang cukup sama untuk mewakili realitas yang sama. Dunia tempat tinggal berbagai masyarakat dinilai oleh Whorf sebagai dunia yang sama akan tetapi dengan karakteristik yang berbeda. Singkat kata, dapat disimpulkan bahwa pandangan manusia tentag dunia dibentuk oleh bahasa sehingga karena bahasa berbeda maka pandangan tentang dunia pun berbeda. Secara selektif individu menyaring sensori yangmasuk seperti yang diprogramkan oleh bahasa yang dipakainya. Dengan begitu, masyarakat yang menggunakan bahasa yang berbeda memiliki perbedaan sensori pula.
Pada hakikatnya dalam kegiatan berkomunikasi terjadi proses memproduksi dan memahami ujaran.  Dapat dikatakan bahwa psikolinguistik adalah studi tentang mekanisme mental yang terjadi pada orang yang menggunakan bahasa, baik pada saat memproduksi atau memahami ujaran .Dengan kata lain, dalam penggunaan bahasa terjadi proses mengubah pikiran menjadi kode dan mengubah kode menjadi  pikiran. Ujaran merupakan sintesis dari proses pengubahan konsep menjadi kode, sedangkan pemahaman pesan tersebut hasil analisis kode.
Bahasa sebagai wujud atau hasil proses dan sebagai sesuatu yang diproses baik berupa   bahasa  lisan  maupun  bahasa  tulis.  Psikolinguistik adalah studi mengenai manusia sebagai pemakai bahasa, yaitu studi mengenai sistem-sistem bahasa yang  ada pada manusia yang dapat menjelaskan cara manusia dapat menangkap ide-ide orang lain dan bagaimana ia dapat mengekspresikan ide-idenya sendiri melalui bahasa, baik secara tertulis ataupun secara lisan. Apabila dikaitkan dengan keterampilan berbahasa yang harus dikuasai oleh seseorang, hal ini berkaitan dengan keterampilan berbahasa, yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis[10].
Semua bahasa yang diperoleh pada hakikatnya dibutuhkan untuk berkomunikasi. Psikolinguistik adalah telaah tentang hubungan  antara kebutuhan-kebutuhan kita untuk berekspresi dan berkomunikasi dan benda-benda yang ditawarkan kepada kita melalui bahasa yang kita pelajari sejak kecil dan tahap-tahap selanjutnya[11]. Manusia hanya akan dapat berkata dan memahami satu dengan lainnya dalam kata-kata yang terbahasakan. Bahasa yang dipelajari semenjak anak-anak bukanlah bahasa yang netral dalam mengkoding realitas objektif. Bahasa memiliki orientasi yang subjektif dalam menggambarkan dunia pengalaman manusia. Orientasi inilah yang selanjutnya mempengaruhi bagaimana manusia berpikir dan berkata.
Perilaku yang tampak dalam berbahasa adalah perilaku manusia ketika  berbicara dan menulis atau ketika dia memproduksi  bahasa, sedangkan prilaku yang tidak tampak adalah perilaku manusia ketika memahami yang  disimak atau dibaca sehingga menjadi sesuatu yang dimilikinya atau memproses sesuatu yang akan diucapkan atau ditulisnya.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan ruang lingkup Psikolinguistik yaitu penerolehan bahasa, pemakaian bahasa, pemproduksian bahasa, pemprosesan bahasa, proses pengkodean,  hubungan antara bahasa dan prilaku manusia, hubungan antara bahasa dengan otak. Psikolinguistik meliputi pemerolehan atau akuaisisi bahasa, hubungan bahasa dengan otak, pengaruh pemerolehan bahasa dan penguasaan bahasa terhadap kecerdasan cara berpikir, hubungan encoding (proses mengkode) dengan decoding (penafsiran/pemaknaan kode)[12], hubungan antara pengetahuan bahasa dengan pemakaian bahasa dan perubahan bahasa).
Manusia sebagai pengguna bahasa dapat dianggap sebagai organisme yang beraktivitas untuk mencapai ranah-ranah psikologi, baik kognitif, afektif, maupun psikomotor. Kemampuan menggunakan bahasa baik secara reseptif (menyimak dan membaca) ataupun produktif (berbicara dan menulis) melibatkan ketiga ranah tadi.
      Istilah cognitive berasal dari cognition yang padanannya knowing berarti mengetahui. Dalam arti yang luas cognition (kognisi) ialah perolehan, penataan, dan penggunaan pengetahuan. Kognitiflah yang menjadi populer sebagai salah satu domain, ranah/wilayah/bidang psikologis manusia yang meliputi perilaku mental manusia yang berhubungan dengan pemahaman, pertimbangan, pemecahan masalah, pengolahan informasi, kesengajaan, dan keyakinan.
      Ranah ini berpusat di otak yang juga berhubungan dengan konasi (kehendak) dan afeksi (perasaan) yang bertalian dengan ranah rasa[13]. Ranah kognitif yang berpusat di otak merupakan ranah yang yang terpenting Ranah ini merupakan sumner sekaligus pengendali ranah-ranah kejiwaan lainnya, yaitu ranah efektif (rasa) dan ranah psikomotor (karsa). Dalam kaitan ini[14]. mengemukakan bahwa tanpa ranah kognitif sulit dibayangkan seseorang dapat berpikir. Tanpa kemampuan berpikir mustahil seseongr tersebut dapat memahami dan meyakini faedah materi-materi yang disajikan kepadanya.
Afektif adalah ranah psikologi yang meliputi seluruh fenomena perasaan seperti cinta, sedih, senang, benci, serta sikap-sikap tertentu terhadap diri sendiri dan lingkungannya. Sedangkan, psikomotor adalah ranah psikologi yang segala amal jasmaniah yang konkret dan mudah diamati baik kuantitas maupun kualitasnya karena sifatnya terbuka[15].
Beberapa ahli mencoba memaparkan bentuk hubungan antara bahasa dan pikiran, atau lebih disempitkan lagi, bagaimana bahasa mempengaruhi pikiran manusia. Dari banyak tokoh yang memaparkan hubungan antara bahasa dan pikiran, penulis melihat bahwa paparan Edward Sapir dan Benyamin Whorf yang banyak dikutip oleh berbagai peneliti dalam meneliti hubungan bahasa.

D.  Kompleksitas dalam Ujaran dan Pikiran
Pada umumnya suatu pemikiran yang kompleks dinyatakan dalam kalimat yang kompleks pula. Hal ini, dapat diartikan pula apabila dalam mengungkapkan sebuah kalimat, dibutuhkan pemikiran yang kompleks. Kompleksitas makna dalam kalimat yang kompleks muncul, karena dalam kalimat tersebut terdapat proposisi yang jumlahnya sangat banyak. Dalam penerapan proposisi-proposisi tersebut dapat bertindak sebagai anak kalimat yang menjadi pelengkap untuk kalimat induk, selain itu, kalimat itu dapat diperpanjang selama setiap akhir dari kalimat tersebut adalah nomina.
Kompleksitas makna dapat terwujud dalam bentuk-bentuk lain, salah satu penyebabnya adalah karena keadaan. Menurut kalian psikolinguistik, hal ini terbagi menjadi dua, yakni netral (unmarked) dan tak netral (marked). Seperti terlihat pada contoh berikut :
1.          UNS mempunyai 120.000 mahasiswa yang terbagi menjadi 9 fakultas.
2.          UNS mempunyai 70.000 mahasiswi.
Kata mahasiswa pada (a) bersifat netral, karena kata mahasiswa mempunyai arti luas, yakni semua pelajar baik laki-laki dan perempuan. Sedangkan pada (b) mempunyai makna pelajar perempuan saja, pada makna ini disebut tak netral, karena telah mengerucut pada salah satu kelompok jenis kelamin saja.
Dalam sebuah kalimat yang menggunakan bahasa Inggris, netral dan tak netral akan lebih mudah untuk dijelaskan, seperti pada kalimat berikut ini:
1.                  How tall is your daughter?
2.                  How short is your daughter?
Dalam kalimat tersebut jika ditanyakan pada seseorang maka lebih mudah untuk menjawab pertanyaan (a) daripada (b), karena kalimat (a) mempunyai sifat netral. Dalam pembelajaran psikolinguistik konsep netral (unmarked) umumnya merujuk pada makna positif. Dalam bahasa Inggris, kata-kata netral mempunyai sisi kebalikannya, misal happy menjadi unhappy. Sedangkan pada kata tak netral, misal sad, tidak dapat kita membuat sisi positifnya.
Ideogenesis dan proses abstraksi pada hakikatnya adalah proses pembahasan realitas. Dalam kenyataan dirasakan dengan jelas adanya kaitan yang erat antara bahasa dan pikiran. Pikiran berfungsi melalui bahasa dan di dalam bahasa. Bahkan dalam banyak kejadian, dapat dihayati kebenaran ungkapan: ada (seni) yang dapat dipahami adalah bahasa (Gadamer). Hanya dengan dibahasakan atau ‘terbahasakan’, sesuatu dapat ditangkap dan dimengerti. Bahasa adalah keterbukaan manusia terhadap realitas. Bahasa dan pikiran adalah tempat terjadinya peristiwa (Geschehen) realitas.
1.                  Instrumentalisme dan determinisme
Secara garis besar terdapat dua paham tentang bahasa, yakni instru-mentalisme dan determinime. Instrumentalisme memandang bahasa sebagai suatu alat untuk mengungkapkan persepsi, pikiran, dan rasa perasaan (emosi)[16], sedangkan paham determinisme berpendapat bahwa manusia hanya dapat mempersepsi, berpikir, dan merasakan karena adanya bahasa.
Dengan perkataan lain, menurut paham instrumentalisme bahasa adalah suatu alat, sedangkan bagi paham determinisme bahasa adalah syarat untuk mempersepsi, berpikir, dan merasakan. Paham instrumentalisme lebih-lebih sangat kuat menguasai pengalaman sehari-hari dalam pemakaian bahasa, tetapi terasa pula dalam (kebudayaan) praktek pemikiran ilmiah.
Perbedaan yang diajukan Ferdinand de Saussure (1857-1913) tentang parole (kegiatan bicara manusia individual) dan langue (bahasa sebagai system) hampir sama sekali tidak dikenal. Kata-kata dialami sebagai alat ekspresi.
Persepsi, pikiran, dan emosi, menurut paham instrumentalisme, adalah lebih dulu (a priori) dari bahasa; dengan dituturkan maka persepsi, pikiran, dan emsi dikomunikasikan kepada orang lain. Dalam berbagai generasi yang terdahulu, bahasa melalui proses belajar memuat arti-arti yang mengendap, memuat motif-motif dan norma, kategori-kategori dan interpretasi-interpretasi, hampir tidak lagi disadari dalam praktek berbahasa sahari-hari.
De facto paham strukturalisme di bidang bahasa juga menganut paham instrumentalisme tentag bahasa. Strukturalisme linguistic tidak melihat bahwa bahasa lebih dari sekedar tata bahasa dan sintaksis, dan bahwa bahasa bersauh  di dalam suatu konteks sosial budaya dan terlebih sebagai parole, bahasa mempunyai dimensi-dimensi yang tidak akan muncul manakala ia hanya dibatasi di dalam batas-batas yang dirumuskan strukturalisme, yakni dunia yang serba fixed, dunia yang sudah serba tertentu.
Pandangan tentang bahasa di atas (paham instrumentalisme dan determinisme) yang de facto berperan dalam banyak kekacauan tentang konsepsi berfikir dan akhirnya juga tentang masalah kaitan realitas-pikiran-bahasa.
2.      Pikiran, bahasa, realitas, dan system
Pikiran dan bahasa, sesungguhnya, merupakan tempat terjadinya peristiwa realitas[17]. Dengan berpikir, manusia menyelesaikan peristiwa tersebut. Berpikir berarti mmbiarkan realitas terjadi sebagai peristiwa bahasa. Kendati manusia senantiasa sudah berada di dalam situasi interpretasi tertentu (Vorhabe, Vorgriff, Vorsicht), realitaslah yang lebih dulu pada awal mulanya merupakan sumber dan asal mula pikiran. Oleh sebab itu, berpikir adalah menerima, sedangkan berterima kasih dan berbicara adalah mendengarkan. Tugas pemikir adalah menjaga terjadinya peristiwa realitas dengan penuh kesayangan. Dalam berpikir manusia bukan penguasa, tetapi pengawal realitas. Tiada kata final bagi realitas. Realitas tetap senantiasa merupakan suatu proses kedatangan serta suatu proses pemberian, sadangakan berpikir senantiasa merupakan suatu proses berterima kasih. Proses perjalanan menuju bahasa juga merupakan proses perjalanan menuju berpikir. Mengapa begitu? Karena realitas tetap senantiasa berupa ‘hal yang tak kunjung selesai dikatakan’. Berpikir  bukan pilihan semau-maunya pihak pemikir. Pikiran bahkan bukan pertama-tama perbuatan kita, tetapi sesuatu yang menerpa menjumpai kita manakala realitas mengungkapkan diri pada pikiran kita.
Jadi, pada dasarnya berpikir adalah suatu tanggapan. Realitas membutuhkn manusia, tetapi manusia bukan penguasa reaalitas, melainkan gembala dan pengawal realitas. Pikiran kita dindang realitas untuk menjawabnya, dan kita menjawab pengutaraan yang datang pada kita dari realitas tadi.
Realitas sebagai pembangkit kegiatan berpikir merupakan bahasa yang sejati. Kegiatan berpikir sebagai jawaban tarhadap kata suara realitas mencari ungkapannya yang tepat sehingga realitas dapat menjadi bahasa, an selanjutnya dapat dikomunikasikan. Bahasa adalah jawaban manusia terhadap panggilan realitas kepadanya.
Dalam berkata yang bener-bener, realitas di-kata-kan. Dengan berpikir dan berkata, manusia meng-kata-kan  realitas, dan baru di dalam peng-kata-an inilah realitas dapat tampil dan tampak. Begitulah pikiran-bahasa dan realitas senantiasa tidak berjauhan, senantiasa berkumpul. Tiada pikiran dan bahasa tanpa realitas, tiada realitas tanpa pikiran dan bahasa.
Konsepsi tentang berpikir yang tidak dibatasi oleh dinding-dinding konvensi[18]. Berpikir yang pada hakikatnya bersifat membangun (konstruktif) tidak berhenti pada pola-pola, pada teori-teori, pada pagar-pagar (yang disebut) “conventional wisdom”, atau pada tembok-tembok system. System-sistem justru sering harus diterobos untuk dapat mendengar suara realitas secara lebih cermat.
Sistem (juga system yang terbuka) mempunyai ciri totalisasi, tranformasi,dan autoregulasi (cf.jean Piaget) yang memiliki logika validasi dan pola justifikasi yang tertentu pula. Perlu disadari bahwa setiap system tidak menyukai keterbukaan; dan pada hakikatnya tertutup. Maka untuk benar-benar berpiki, kita perlu mempertanyakan atau menerobos ketentuan-ketentuan tersebut.
Meskipun memperhatikan, pikiran yang benr-benar berpikir tidak terikat pada jawaban-jawaban tertentu. Pikiran, bagaimana pun, harus dipertahankan kemerdekaannya. Kemerdekaan bukan berarti kebebasan tanpa batas-batas[19], ini dapat kita pahami jika kita memperhatikan keadaan kita sehari. Misalnya: dalam bertingkah laku kita memiliki aturan-aturan[20] agar tidak melanggar norma kesopanan di negara kita dan sistem bukan hal yang membuat sesuatu menjadi benar. Sesuatu itu dikatakan benar (baik) bukan karena ditetapkan, tetapi karena benar (baik) maka ditetapkan (ingat paham positivism moral dan positivisme yuridis)[21].
Maka sesuatu itu benar (baik) bukan karena diberi system. Bahkan suatu system yang sesuai ditumpangkan hanya sesudah dilakukan pandangan yang mendasar terhadap realitas. Hal ini pun senantiasa harus ditinjau kembali, sebab pandangan (mendasar) tentang realitas tidak pernah final. Dimensi-dimensi baru, hal-hal baru yang lebih tepat, senantias dapat tampak dan tampil. Maka system yang ada juga harus dibongkar. Begitu yang tidak atau belum melihat kadar kebenaran hasil-hasil penetrasi pemikiran tersebut. Banyak orang masih sering memerlukan waktu, tambahan ‘kekayaan jiwa’, perubahan mentalitas untuk menangkap yang lain dari yang biasa, tetapi bukan tidak mungkin kadar kebenarannya lebih tinggi.
Manusia hendaknya tunduk kepada pikiran yang lebih baik karena pikiran yang lebih baik meng-kata-kan realitas,lebih mengungkapkan kadar kebenaran realitas.
Adanya kebenaran formal tidak boleh diingkari. Pengingkaran terhadap setiap kebenaran formal adalah suatu anarki.
Tetapi hendaknya selalu diinsafi bahwa realitas tidak pernah habis dipikirkan dan tidak pernah habis dikatakan. Selalu terdapat suatu dunia yang lebih baik yang menanti untuk dibangun, ada keadilan yang lebih adil untuk dicapai, ada hari depan yang harus diwujudkan yang bersifat lebih pantas bagi manusia dan memungkinkan pengakuan yang lebih efektif dari manusia oleh manusia.
3.                  Berpikir tidak konseptual
Hal berikut ini adalah konsekuensi selanjutnya. Pemikir bukanlah penguasa realitas; ia adalah pengembala yang menjaga terjadinya peristiwa realitas. Maka berpikir secara konseptual adalah bertolak belakang dengan berpikir yang benar-benar berpikir.
Meskipun dengan dalih sebagai medium quo, sebagai orientasi ke arah atau perspektif atas fenomena, konsepsi atau konseptualisasi karena ditentukan batas-batasnya secara cermat rasional de facto senantiasa membendung peristiwa penyingkatan realitas. Maka muncul konseptualisasi statis. Maka vere loqui (bicara benar) akhirnya menjadi hanya recte loqui (bicara lurus , sesuai dengan batas-batas).
Berpikir tidak konseptual member kesan suatu contradiction in terminis. Bukankah kata pada dasarnya tidak terpisahkan dari konsep?
Kesulitan pokok untuk memahaminya adalah habitus memandang pikiran sebagai alat untuk menguasai dan communis opinion memandang bahasa sebagai alat (instrument), sebagai objektivasi[22].
Dalam pemikiran yang dapat dikategorikan kedalam pola pemikiran idealism, (yang) ada adalah yang dimengerti (asse est percipi), tidak dimengerti atau tidak dipikirkan berarti tidak ada, maka konsep atau ekspresi konseptual adalah (yang) ada tersebut sendiri. Ide adalah realitas, realitas adalah ide.
Sedangkan dalam pola empirisme, karena kesadaran manusia adalah tabula rasa, maka konsep atau juga pengetahuan konsepsional adalah pencerminan realitas, suatu copy.
Atas dasar pemikiran tersebut, hubungan teori dan kenyataan juga ditentukan. Menurut communis opinio, jikalau seseorang ingin menghampiri kenyataan secara tidak memihak, maka proses kerjanya adalah melalui induksi menyuling keseragaman-keseragaman dari kenyataan, kemudian mengungkapkan ke dalam konsepsi-konsepsi dan proposisi-proposisi teoretis[23].
Konsepsi-konsepsi dan teori-teori yang tersusun dari konsepsi-konsepsi tadi adalah gambar-gambar kenyataan yang menggambarkan regularitas dan keseragaman-keseragaman kenyataan. Konsepsi-konsepsi disusun sebegitu rupa untuk memungkinkan penguasaan, dan peramalan.
Jadi, gambar-gambar tersebut harus berguna, harus diatur sedemikian rupa untuk dapat dipakai. Berdasarkan pertimbangan pragmatis, kebenaran suatu teori tidak hanya terdiri dari suatu penggambaran kenyataan secara tepat, tetapi juga diarahkan pada kegunaan praktis. Rasionalitasnya: pengetahuan adalah pasti manakala anda dalam praktek dapat memakainya. Benar adalah bila operasional; pengetahuan adalah suatu alat, dibutuhkan untuk berbuat tanpa mempunyai pretensi lebih lanjut.
Demikianlah minat orang tidak terarah kepada peristiwa tampak dan tampilnya realitas melalui pikiran dan bahasa yang de facto tidak pernah selesai atau final, tetapi terpusat pada kesibukan memikirkan kesesuaian dunia idenya dan dunia sebagai titik akhir perjumpaan yang hakikatnya selalu berbeda. Lalu apa berpikir tidak konseptual itu?
Berpikir tidak konseptual berarti tidak memikirkan bahasa sebagai terdiri dari atau sebagai senantiasa mencari konsep yang dibatasi-dengan-jelas-dan-secara-rasional-ditetapkan.
Dengan mengartikan bahasa sebagi konsep yang dibatasi artinya secara jelas dan ditetapkan secara rasional, maka serba statis dan berkotak-kotak, dengan sendirinya kejelasan dapat dijamin. Tetapi berpikir seperti itu adalah berpikir secara pemaksaan pada realitas. Inisiatif realitas ditiadakan.
Didalam berpikir tidak konseptual, kita mempertanyakan bagaimana realitas tertentu diartikulasikan dengan konsep tertentu.
 Berpikir bukan pilihan semaunya pihak pemikir, yang umumnya demi konvensi (dan demi enaknya), menggunakan istilah-istilah tertentu.
Perlu selalu disadari bahwa pikiran bukan pertama-tama perbuatan kita, tetapi sesuatu yang menerpa menjumpai kita manakala realitas menggungkapkan diri pada pikiran kita[24].
Di dalam kenyataan, suatu konsep adalah peristiwa penjernihan atau penyelubungan suatu hal. Dengan demikian, sejarah (historikalitas) merupakan hakikat suatu konsep.
Realitas bukanlah suatu konsep yang pasti, melainkan suatu peristiwa yang terjadi pada kita, sesuatu yang menjadi terang pada diri kita. Berbagai pandangan tentang realitas yang telah dipakai selama berabad-abad niscaya merupakan hasil cara realitas menampakkan diri dalam berbagai kesempatan.
Ekspresi konseptual seharusnya tidak dipandang dan diperlakukan sebagai ekspresi sempurna dari terminus perjumpaan (karenanya menjadi konseptualisasi statis yang siap untuk dianalisis), tetapi niscaya dipandang dan diperlukan sebagai suatu perspektif (abschattung), sebagai artikulasi realitas dalam prosesnya untuk membahasa. Kegiatan berpikir adalah jawaban terhadap kata suara realitas, mencari konsep ungkapannya yang tepat sehingga relitas dapat menjadi bahasa.
Arti senantiasa lebih luas dari yang mungkin diungkapkan dalam ekspresi konseptual atau diungkapkan secara verbal.
Dalam ekspresi konseptual, segala sesuatu yang tercakup didalamnya bergerak dan mencari berdasarkan petunjuk-petunjuk rasional cermat si konseptor misalnya ilmuan. Ekspresi konseptual tidak dihuni oleh kenyataan-kenyataan yang benarbenar riel dan tidak dihuni oleh manusia-manusia yang hidup menyejarah terdiri dari daging dan darah dengan segala emosi dan intuisinya.
Demikianlah secara sangat singkat dan padat pembicaraan kita tentang hakikat bahasa dan pikiran.
Kendati kita telah terpolakan dalam cara-cara berpikirdan logika tertentu, logika dalam konteks rasionalitas strict sensu, logika yang memperlakukan akal budi/pikiran dan bahasa sebagai alat sebagaimana umum terdapat dalam ilmu, berpikir yang benar-benar berpikir pantang dilupakan. Orientasi-orientasi di atas mutlak perlu disadari di dalam praksis cara-cara berpikir dan logika yang hanya tukilan dari berpikir yang benar-benar berpikir. Jika tidak, taruhannya terlalu serius.
4.      Fungsi-fungsi bahasa
            Pemikiran tentang bahasa di atas adalah pengakuan hakikat bahasa.Berkat berbagai studi, berbagai masalah bahasa juga semakin tersingkap. Alangkah bermanfaatnya jika seorang pemikir juga tahu dan dan menyadari studi tata bahasa generative dari Noam Chomsky, sosiolinguistika basil Bernstein, linguistika structural de Saussure, konsepsi bahasa Gademer, studi tentang semiologi dari Roland Barthes[25].
Hal ini terlebih dirasakan sangat mendesak didalam studi tentang logika scientifika, yang memandang bahasa pertama-tam sebagai suatu alat.











BAB III
PENUTUP
A.           Kesimpulan
Dari beberapa pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa:
1.         konsep Sapir diatas berisi tentang batasan-batasan
ü  Manusiawi
ü  Dipelajari
ü  Sistem
ü  Arbitrer
ü  Simbolik
2.         Berpikir yang benar-benar berpikir tidak identik dengan berpikir dengan menghitung yang hakikatnya pemikirannya hanya berhenti pada aspek kuantitatif dari realitas, pada aspek utilistik instrumental dari realitas. Dalam terminologi sehari-hari dipakai istilah ratio yang berasal dari kata Latin reor yang berarti ‘menghitung’. Kadar kebenaran yang sesungguhnya dari realitas tidak mungkin terjangkau melalui berpikir dengan menghtung.
                        Berpikir yang benar-benar berpikir bukanlah berpikir dengan memvisualisasikan, membayangkan. Dalam berpikir dengan memvisualisasikan terkandung asumsi bahwa segala hal dapat dibuat visual (yang jelas tidak mungkin), terkandung persepsi dasar bahwa the real is the physical. Hal yang lebih dalam dari realitas jasmani dengan sendirinya tidak terjangkau. Jadi bahasa hanya dapat diucapkan oleh manusia karena manusia memiliki akal dan pikiran yang dengannya manusia dapat mengungkapkan apa     yang ingin mereka ungkapkan.
3.      Dalam ruang lingkup Psikolinguistik yaitu penerolehan bahasa, pemakaian bahasa, pemproduksian bahasa, pemprosesan bahasa, proses pengkodean,  hubungan antara bahasa dan prilaku manusia, hubungan antara bahasa dengan otak, mempengaruhi pemerolehan bahasa dan penguasaan bahasa terhadap kecerdasan cara berpikir, hubungan encoding (proses mengkode) dengan decoding (penafsiran/pemaknaan kode), hubungan antara pengetahuan bahasa dengan pemakaian bahasa dan perubahan bahasa).
            Manusia sebagai pengguna bahasa dapat dianggap sebagai organisme yang beraktivitas untuk mencapai ranah-ranah psikologi, baik kognitif, afektif, maupun psikomotor. Kemampuan menggunakan bahasa baik secara reseptif (menyimak dan membaca) ataupun produktif (berbicara dan menulis) melibatkan ketiga ranah tadi.
B.        Saran
            Hendaknya dalam mengutarakan sesuatu dari pikiran kita haruslah menggunakan tatanan bahasa yang sistematis dan teratur. Agar menghasilkan kebenaran dan tidak sesat pikir.





DAFTAR PUSTAKA
Bustami. Filsafat Pokok-Pokok Kajian tentang Realitas. IAIN SUNAN AMPEL PAMEKASAN: Laboratorium Jurusan Pendidikan Agama,1990.
Ahmad Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Alma’arif,1989.
Mansoer Pateda, Aspek-aspek Psikolinguisti, Ende Flores: Nusa Indah, 1990.
Muhibin Syah,  Psikologi Belajar. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004. 
Mulyadi, Introduction to Linguistic, Pamekasan: STAIN Pamekasan Press, 2009.
Poespoprodjo, Logika  Scientifika Pengantar  Dialektika dan Ilmu, Bandung: Pustaka Grafika, 1999.
Sunardji Dahri Tiam, Pengantar Filsafat Islam. Gresik: Bumi Jaya.
Yeti Mulyadi, Keterampilan Berbahasa Indonesia SD, Jakarta: Universitas Terbuka, 2009.





[1]  Bustami, Filsafat Pokok-Pokok Kajian tentang Realitas ( IAIN Sunan Ampel Pamekasan:PT Laboratorium Jurusan Pendidikan Agama, 1990) hlm., 1.
[2] Sunardji Dahri Tiam, Pengantar filsafat Islam (Gresik:Bumi Jaya, 1988) hlm., 1.
[3] Poespoprodjo, Logika  Scientifika Pengantar  Dialektika dan Ilmu (Bandung: Grafika, 1999) hlm., 77.
[4] Ahmad Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: Almaarif, 1989) hlm., 111.
[5]  Bustami, Filsafat Pokok-Pokok Kajian tentang Realitas, hlm., 2.

[6] Mulyadi, Introduction to Linguistic  (Pamekasan:STAIN Pamekasan Press, 2009) hlm., 1.
[7] Ibid, hml., 67.

[8] Yeti Mulyati, Keterampilan Berbahasa Indonesia SD (Jakarta: Universitas Terbuka, 2009)  hlm., 2.5.

[9] Poespoprodjo, Logika  Scientifika Pengantar  Dialektika dan Ilmu, hlm., 81.

[10] Yeti Mulyati, Keterampilan Berbahasa Indonesia SD, hlm 2.3
[11] Mansoer pateda, Aspek-Aspek Psikolinguistik (Endo flores: Nusa indah, 1990) hlm., 13.
[12] Yeti Mulyati, “ Keterampilan Berbahasa Indonesia SD, hlm., 15.
[13] Muhibin Syah, “ Psikologi Belajar (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2004) hlm., 22.
[14]  Ibid, 22.
[15]  Ibid, 52.
[16] Poespoprodjo, “Logika  Scientifika Pengantar  Dialektika dan Ilmu, hlm., 77.
[17] Ibid. hlm., 78.
[18] Ibid. hlm., 79.

[19] Ahmad Marimba, Pengantar Filsafat, hlm., 109.
[20] Ibid,hlm., 109.
[21] Ibid. hlm., 68.
[22] Ibid. hlm., 71.
[23] Ibid. hlm., 72.
[24] Ibid. hlm., 73.
[25] Ibid. hlm., 74.